Padepokan Budi Rahardjo

KOMPAS.com - Sains

Sabtu, 20 September 2008

ujianku on romadhon 2008 / 1429 H

Assalamu ' alaikum wr wb.

Ibu Dedeh Rokhimakumullah.

Melalui surat elektronik ini saya ingin mencurahkan isi hati saya kepada Ibu, berkaitan dengan problem rumah tangga yang

sedang saya alami. Kronologinya seperti ini:

1. Hari Selasa, Tanggal 8 September Istri saya mengirim SMS kepada saya yang masih berada di Kantor, isinya supaya saya cepat pulang. Kemudian istri saya menambahi bahwa ia baru saja menghajar anak kami satu-satunya yang masih berusia 3 tahun 4 bulan karena anak kami tidak menurut pada ibunya, dan lebih menurut pada budhe-nya.

Sekedar catatan, kondisi ekonomi keluarga kami saat ini memang relatif tak sebaik keluarga kakak saya. Keluarga saya dan kakak saya tinggal bersebelahan, kebetulan kami menempati rumah keluarga yang terdiri dari 2 bangunan tandem, ada pintu akses setiap rumah.
Anak kami hampir setiap hari pasti merengek minta ikut pakdhe / budhenya naik sepeda motor mengantar kakaknya ( anak kakak saya), dan belakangan anak kami juga ingin punya sepeda seperti milik kakaknya, sehingga ia lebih sering mencampuri kakaknya ketika bermain sepeda. Kedua hal ini rupanya membuat istri saya merasa risi, bahkan minder, namun istri saya mengatakannya sebagai sedih.

Di samping itu, memang kelihatannya anak kami lebih nyaman dengan keluarga budhenya. Tidak saya pungkiri baik kakak maupun kakak ipar saya sering membantu mengatasi kerewelan anak kami. Inilah yang kemudian membuat istri saya merasa tidak lagi

memiliki otoritas terhadap anak kami. Istri saya khawatir terhadap masa depan dan kepribadian anak kami, karena memang keluarga kami memiliki lifestyle yang berbeda dangan keluarga kakak saya yang juga melayani keperluan rumah tangga ayah kami (sudah menduda 12 tahun).

2. Ketika saya sampai di rumah, saya menjumpai hal-hal sebagai berikut: pertama, pintu akses ke rumah kakak dikunci dari dalam oleh istri saya. kedua saya menyaksikan istri saya dalam kondisi manyun, melamun kesal pada realita. ketiga, anak kami masih dalam kondisi tersedu-sedu / sesenggukan akibat dihajar ibunya, walau ia sedang bermain dengan anak kakak kami, dan ia selalu menolak untuk dipertemukan dengan ibunya. Saya coba bicara pelan, halus dan baik-baik pada istri saya supaya bisa memaklumi perilaku anak kami itu, namun rupanya kekesalannya membuat istri saya tidak dapat berfikir jernih. Apalagi saat itu anak kami dalam keadaan sakit panas dalam, dan Alhamdulillah hari itu budhenya meluluri anak kami dengan bawang merah dan minyak kelapa hingga bisa meringankan sakitnya. Kemudian saya mencoba mengibur anak kami dengan cara menemaninya hingga sore, dan sampai ia mau makan, walau sekedar buah.

3. Sore hari, sekitar jam 4, saya menyalakan komputer sekedar untuk mengisi waktu senggang dan refreshing. Istri saya akan memasak nasi menggunakan rice kooker. Ia minta saya mematikan komputer, tentu masih dalam keadaan tidak gembira. Ketika ia menanyakan apakah komputer sudah dimatikan, saya jawab "sudah" dengan pelan. Rupanya istri saya belum percaya dan mengulangi pertanyaan serupa masih dengan nada cemberut. Ketika inilah saya silap / khilaf. Dasar pikiran dan badan saya capek, ditambah harus bersabar menghadapi kondisi istri saya, saya jawab 'sudah" dengan irama bentakan. Di sinilah istri saya mulai ngambek.

Ia komplain dengan cara berkata, " tak usah pakai bentak kenapa?" Saya pun menjawab " tak usah pakai cemberut kenapa?". Istri saya tidak ridho. Ia nekat pulang ke rumah ibunya tanpa melihat situasi waktu. Karena waktu masih sore dan cuaca tidak mendukung, semua perlengkapan "minggat" yang kebetulan masih berada di kamar, saya kunci dan kunci saya simpan.

4. Malam hari, istri saya berangkat tarowih dan anak kami masih "benci" pada ibunya. Pintu rumah yang kami tempati, saya kunci dari dalam termasuk pintu akses dari rumah kakak. Pamrih saya, saya ingin tahu, apakah istri saya akan menemui ayah dan kakak saya atau tidak. Ternyata ia lebih memilih transit di rumah tetangga depan rumah. Setelah tahu itu, saya buka pintu, dan istri saya pulang dengan penuh kemarahan dan kebencian pada saya. tak mau sedikitpun bertegur sapa.

5. Menjelang tidur, anak kami masih belum mau tidur dengan ibunya, dan memilih tidur dengan budhenya. Namun setelah tidur, ia diboyong oleh istri saya dan tidur dalam pelukannya, pun ketika terbangun di tengah malam, ia meronta minta tidur dengan budhenya dan tak mau tidur dengan ibunya. Saya sendiri tidur di kursi dekat kamar. Masalah tidur dengan budhenya, memang bukan pertama kali. Namun sebelunya lebih dikarenakan karakter anak kami yang masih sekedar ingin.

6. Pagi hari, saya ceritakan kronologi itu pada mertua saya (sudah janda). Saya mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan, termasuk memohonkan maaf bila istri saya durhaka pada ibunya. Seingat saya istri saya pernah mengolok-olok ibunya seperti ini: "Ibu maunya memakaikan baju ke orang lain tapi pakai ukuran badan sendiri". Maksudnya ibu mertua saya dianggap egois dan otoriter. Dan itu, langsung tidak langsung sebenarnya juga dilakukan oleh istri saya terhadap anak kami, sehingga ia dibenci semalaman oleh anak kami.Saya berpendapat apa yang ditunjukkan oleh anak kami adalah peringatan bahwa kami pernah durhaka pada ibu kami/mertua saya.

7. Kebetulan, adik istri saya yang biasanya serumah dengan ibu, saat itu tidak lagi bersama, karena ikut suami di desa sebelah. Maka saya sinkronkan kondisi istri saya dengan kondisi di rumah. Saya ambil keputusan, istri saya boleh pulang, tapi jangan karena marah / jengkel, melainkan karena ibu butuh teman, sekaligus untuk menenangkan hati dan pikiran. Keputusan ini diabaikan oleh istri saya. Ia tetap marah dengan bukti, handphonenya tidak di bawa dan flash disk kerja saya ia sembunyikan, bahkan jika tidak saya paksa/pancing, ia tidak akan pamit baik-baik. Cium tangan saja tidak mau. Saya merasa usaha saya menghalusi istri saya tidak dianggap.

8. Beberapa hari saya memang tidak menyusul karena faktor pekerjaan dan keuangan untuk transport yang minin. Hal inipun sudah saya sampaikan pada mertua ketika saya mengadu. Namun dampaknya di luar dugaan. Situasi memanas. Saya kembali ingatkan dia untuk bisa terima dengan kondisi keluarga kakak saya, ia tetap tak mau terima dengan alasan tidak baik untuk anak kami. Ayah saya sendiri sampai berkomentar bahwa istri saya tidak tahu terima kasih dan jumawa. Ini yang membuat saya kalut. Ditambah lagi istri saya berkomentar ia lebih baik selamanya dengan ibunya, jika saya tidak bisa setiap hari menemuinya. Padahal ia tahu persis bahwa penghasilan saya sebagai guru swasta tahun ini tidak lebih baik dari tahun sebelumnya, ditambah lagi harus ada pos pengeluaran untuk biaya kuliah yang baru saja saya mulai. Saya makin kalut.

9. Suatu saat istri saya tanya lewat SMS, bagaimana rasanya jauh dari anak. Saya jawab saya santai saja tanpa saya jelaskan alasannya karena saya dalam kondisi ngantuk di tengah acara tidur malam. Ia kembali menjawab:"jika begitu saya lebih baik jauh dari suami daripada jauh dari anak." Awalnya saya tak ambil pusing, karena saya tahu persih, istri saya emosional. Namun
pikiran saya justru semakin kalut. Ini yang kemudian membuat saya berinisiatif "mengirim utusan perdamaian" yaitu kakak-kakak saya yang lain. Dan karena kalutnya, saya bertanya pada ayah saya, bagaimana jika istri saya dicereikan? jawaban ayah saya pun diplomatis," terserah kamu, coba minta pendapat pada saudara-saudaramu! Kamu sendiri yang memutuskan. memang istrimu jumawa dan tidak tahu teirma kasih, tidak merasa selalu ditolong" Pendapat ayah saya tindak lanjuti dengan mengiri sms ke saudara-saudara saya yang bunyinya. " istri saya mau saya beri talak 1. Ada komentar?" jawaban yang masuk semuanya mengatakan JANGAN, dengan berbagai macam argumentasi, terutama menyangkut anak kami.

10. Kebetulan bulan ini, gaji saya terlambat sehingga nafkah untuk istri saya juga tertunda. Ini membuat istri saya sensitif, telebih lagi beberapa hari sebelumnya ia sudah pesan supaya saya beli susu untuk anak kami. Ia protes menagih kewajiban saya. Saya jawab dengan mempertanyakan apakah istri saya sudah memenuhi kewajibannya pada suami? jawaban saya sampaikan masih di dalam suasana kalut, sehingga di akhir jwaban saya caci dia dengan kalimat, "dasar istri durhaka".

11. Hari Jumat kemarin, 19 September 2008, kakak ipar saya yang lain, yang juga sudah kenyang masalah rumah tangga dan cukup akrab dengan istri saya. Dari obrolan mereka didapat poin-pon sebagai berikut:

a. Ia lebih baik di sana karena anak kami jadi lebih terkontrol, dan tampak lebih sehat. Meskipun ketika kakak saya pamit, anak kami merengek ingin ikut dengan alasan ingin ketemu bapaknya.

b. Istri saya mengatakan, kalau saya ke sana harus dengan saudara-saudara yang lain. Maksudnya jika saya mau terus berumah tangga ataupun mau putus, harus ada yang mengetahui.

12. Terakhir, malam tanggal 21 September ia kirim SMS, "selamat berfikir, mau putus (CERAI) apa terus". Saya jawab, "Tunggu saja jawabannya setelah saya istiharoh. Selamat tidur, semoga dalam tidurmu kamu mendapat hidayah."

Ibu Dedeh, Menanggapi hal ini sikap yang sudah saya ambil adalah: saya berusaha bersabar. Masya Allah, di bulan Romadhon saya dapat ujian sebegitu mengagetkannya sehingga bagi saya memang terasa lumayan berat. Alhamdulillah saya ingiat arti surah albaqoroh ayat terakhir yang mengatakan bahwa Allah tidak akan mencoba manusia kecuali masih dalam batas kemampuannya. Selain itu, saya sadar betul tahun 2000 di bulan puasa juga, Saya mohon kepada Allah untuk menunjukkan siapa gerangan jodoh saya. Dan Allah mengabulkan permohonan saya. Bayangan yang muncul dalam mimpi "pesanan" (sebagai bentuk petunjuk yang saya minta dari Allah) mirip sekali dengan sosok istri saya. Dan juga saya tidak terlalu ganteng juga tidak jelek-jelek amat. Sehingga, memangnya siapa lagi yang mau dengan orang seperti saya, apalagi kalau sudah jadi duda (naudzubillahi mindzaliq). Perceraian bagi saya adalah jalan paling akhir, pun sebisa mungkin ditunda terus.

Mohon kiranya Ibu Dedeh memberi nasihat. Kebetulan keluarga mertua sering menyaksikan acara mamah dan aa. Semoga Ibu Dedeh menjadi perantara jalan keluar dari kemelut rumah tangga kami. Amin.

Senin, 08 September 2008

BENIH SETAN DI BULAN ROMADHON

Kata pak Kiai, pada bulan Romadhon puasa dipenjarakan sebulan penuh di base camp-nya, neraka. Tapi kenapa justru di bulan puasa itu, godaan terasa semakin tambah dan mudah menjumpai setan-setan berkeliaran dalam rupa manusia, ya? Gak sedikit lhoh, di bulan puasa orang yang kesetanan. Entah berupa snewen, marah, tensi naik dan bla bla bla.

Mungkin karena selama sebelas bulan sebelumnya si setan sudah berhasil menitiskan benih-benih syaitoniah pada umat manusia. Jadi, biar kata setan lagi dipenjara, kadernya tetap leluasa di dunia, bahkan ikut puasa maupun nimbrungi orang puasa. :)