Padepokan Budi Rahardjo

KOMPAS.com - Sains

Sabtu, 16 Oktober 2010

UN Indomi

Ini istilah baru nutur dari Pak Prof. Syamsudin. Beliau mencuatkan istilah ini ketika workshop menyusun modul bahan ajar sekolah menengah kejuruan. Istilah itu adalah
Ujian Nasional IndoMIe 

alias Ujian Nasional bahasa Indonesia Matematika dan bahasa Inggris (english). Wheleh.... padahal....


beliau pernah jadi konsultan BNSP di Depdiknas


. Nah lhoh....

dan yang tidak kalah penting adalah komentar beliau:

UN Indomie membuat lulusan SMK menjadi Banci alias tidak punya punya identitas yang jelas.

Rabu, 13 Oktober 2010

SEHARI TANPA NASI, BISA

Hari Selasa, 12 Oktober 2010, TV-1 menayangkan wawancara tentang kampanye sehari tanpa nasi. Berita ini membuat aku terprovokasi. Ada kesamaan ide dalam topik ini, yaitu makanan pokok bukan hanya nasi. Menang dalam wawancara itu, dasar pemikirannya adalah nasi tidak bisa terus menerus diandalkan sebagai makanan pokok, karena faktor rasio pertambahan penduduk dengan luas sawah dan produksinya. Butuh diversifikasi agar terus "bisa makan". Tapi pemikiranku sederhana saja. Aku ingat betul pelajaran di Sekolah Dasar, yaitu "makanan pokok di Indonesia ada beras, singkong, ubi, sagu, dan jagung". Kesimpulannya makanan pokok bukan hanya beras / nasi. Semua pelajar SD sengkatanku pasti dapat teori serupa, tapi ternyata tidak semua nyangkut di kepala bahkan termodalkan untuk diamalkan. Kalau (almh) ibu saya tau, pasti akan dikatai "dasar orang makan sekolahan tapi tidak makan ajar!". Heheh... siapa lagi ya "sing ora mangan ajar" (yang tidak makan ajar?

Karena kesamaan gagasan itulah, hari ini, Rabu 13 Oktober 2010 aku "iseng" mencoba mempraktikkan kampanye itu. Kebetulan, yu Sri pagi hari nggodog tela (singkong). Langsung saja terpikir, ini adalah menu sarapanku. Kalau makan singkong thok, garing. Aku ambil sepotong sisa telur dadar semalam sebagai lauknya. Rasanya ...... aneh, tapi nylekamin juga. Siang sekitar jam 10, kebetulan aku mertamu ke SMK PB kelas jauh di Rakit. Dapet suguhan kolak isinya labu (waluh kenthi), ubi, dan singkong. waw... full carbohydrate. Sore, sekitar jam 3 aku berada di kampus untuk meeting mentransfer pengalaman berorganisasi pada yujior. Perut agak lapar, juga. Biasanya menu makan dijemput di kantin mbak Jum, tapi sore itu aku santap mie ayam semangkuk. Kenyang, tapi... monosodium glutamat-nya itu... kurang afdhol. Malam harinya tiba di rumah mertua. Kebetulan istri mengabarkan "nasinya habis". Wah... mendukung sekali. Dia mau buatkan aku mie instant. Aku tolak, karena sudah menyantap mie ayam. Dan sebagai penggantinya, dua potong tempe kemul, dan seonggok sisa nangka sabrang (sirsak) aku embat habis. Ueegh.. kuenyang juga.

Aku bisa mempraktikkan sehari tanpa nasi. Orang lain... sebenarnya juga bisa. Barangkali faktor kesadaran dan proses memulainya saja yang berbeda. Aku sendiri kalau setiap hari tanpa nasi, rasanya .... sulit juga. Jadi, perlu irama untuk mengurangi ketergantungan pada nasi hingga bisa lebih sering tanpa nasi. Hari ini bisa tanpa nasi, besok mungkin cukup sepiring sehari, dan lusa sebatas dua piring lagi, lalu sepiring, tanpa nasi, sepiring lagi, dua piring dan seterusnya. Kalau dilambangkan dengan deret angka kurang lebihnya adalah 0, 1, 2, 1, 0, 1, 2, .. dan berulang seterusnya.

Ide kampanye one day no rice sungguh perlu mendapat dukungan, walau sebatas kemampuan. Pemerintah juga sebaiknya tidak mematikan harga slogan kampanyenya sebatas sehari tanpa nasi, tapi perlu juga mengajak masyarakat dengan slogan sehari sepiring nasi, atau sehari makan dua kali seperti kanjeng nabi. Ajakan pemerintah dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan ini juga bukan hal yang berlebihan, terutama bagi umat muslim yang sudah baligh. Setidaknya mereka punya agenda berpuasa sebulan dalam setahun. Jadi, sudah terlatih mengurangi konsumsi makanan, apapun makanannya.

Aku sudah mencoba, dan bisa. Bagaimana dengan anda?