Padepokan Budi Rahardjo

KOMPAS.com - Sains

Senin, 26 April 2010

Nilai naik yang lulus ya turun

HASIL UN yang mengejutkan. Itu headline kompas http://edukasi.kompas.com/read/2010/04/27/10064353/Hasil.UN.yang.Mengejutkan-5.

Ya terang saja turun. Nilai standarnya naik, tapi gedung sekolah masih mengkhawatirkan (kalo ini si sebenarnya bisa di siasati oleh orang yg pandai bersyukur) gurunya masih lulusan dengan nilai terendah di universitas swasta anu yang belum terakreditasi. Sarana dan prasarana juga masih minin (walau bisa diakali oleh orang yang cerdas rohaninya sehingga kreatif otaknya). Yang jelas UN tahun 2010 tetap berpredikat "BELUM BERPERIKEADILAN".

Njuk, biar adil, ginama dong.
Peningkatan. Itu kata kuncinya. Peningkatan dalam hal ini bukan pembenar kepada sekolah-sekolah yang masih serba terbatas untuk mengemis-ngemis fasilitas pendidikan kepada negara. Soal situasi dan kondisi setempat, kata kuncinya adalah bersyukur dan kreatif. Lalu peningkatan yang seperti apa?

Bu Frida NRH MS, psikolog Undip dan pengurus PMI Jawa Tengah dalam satu penataran PMI menyajikan ilustrasi: Si A pada pre-test dapat nilai 6, pada post-test dapat nilai 6.1. Si B pada pre-test dapat nilai 7.9 dan di post-test dapat nilai 7.8. Kelirumologi yang dilakukan para pendidik adalah selalu menyubya-nyubya (mendewa-dewakan) kondisi B, selalu mendapat pencapaian paling tinggi. Tapi kondisi A jauh dari apresiasi. Padahal A mengalami peningkatan prestasi, dan B mengalami penurunan. Apakah mindset pendidikan kita adalah the highest mark always to be the best?

Jadi, jika standar nilai tahun ini 5.5, tahun depan tetap saja dulu di tingkat 5.5. Setelah itu, ukurlah kemampuan sekolah untuk meningkatkan pencapaiannya. Bandingkan kondisi tahun ini dengan kondisi tahun depan. Kalau bisa menigkat, barulah sekolah ditantang. Tahun depannya lagi berani lulus dengan nilai pencapaian berapa?

Itu baru adil. Kalau sekolahku cuma berani di level 5.3 ya ga papa wong kondisinya juga lain dengan yang berani dengan level 6.8. yang penting, berilah reward buat yang mampu meningkat, beri pula advokasi buat yang belum bisa meningkat.

Cantiknya Anakku

Cakep kan..!?
Hanung Kamila Marva
Subhanallah!

Rabu, 21 April 2010

FENOMENA JUPE DAN RAMALAN JAYABAYA

Siapa yang tidak kenal Jupe? Predikat yang melekat pada sosok Jupe bagi kebanyakan orang adalah seksi, sensasional, menebar aurat, dan segudang lain predikat yang tak nyaman didengar telinga. Dengan predikat seperti itu, ia mau saja dicalonkan sebagai wakill bupati pacitan. Tentu pro dan kotra muncul. Ada yang mendukung, tak sedikit pula yang menolak.

Pemimpin, apalagi di Indonesia, terlebih lagi di masa sekarang, dituntut perfect. Predikat Jupe jelas mengganjal dan mengganjalkan karena dinilai jauh dari perfect. Memang dia sudah menyatakan akan menyesuaikan diri. Artinya dia akan mengurangi predikat jelek dengan cara memperbaikinya. Tapi statemen dia itu bersyarat, "jika terpilih". Dua pertanyaan muncul dari statemen ini. Satu, apakah memperbaiki diri harus dilakukan jika akan menjadi pemimpin? Logikanya kalau tidak terpilih, tidak perlu memperbaiki diri. whek....:o Kedua, semudah itukah perbaikan diri bisa dilakukan, mengingat predikat yang tidak enak itu lahir dari kebiasaan. Waw... naeef kalee!?

Buat warga pacitan, sekedar mengingatkan. Pemimpin adalah cerminan masyarakat. Terlebih pemimpin yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Kalau sosok seperti jupe tidak terpilih, Rakyat pacitan memang tidak seperti jupe. Kalau terpilih, berarti rakyat Pacitan memang memiliki karakter seperti Jupe. Kesimpulan ini saya dapat dari wawancara budayawan Jawa Timur, Ki Haji Sujiwo Tejo yang sempat tayang di SCTV, dan diabadikan di YOUTUBE. Berikut ini penuturannya, tutur tinular untuk warga Pacitan yang menjaga kehormatan:

Rabu, 14 April 2010

PAMONG PRAJA ATAU PEYANG PENJOL


Pamong Praja. Seperti apakah semestinya sosoknya? Secara bahasa, kata Pamong berasal dari bahasa jawa, yaitu kata dasar among, yang artinya mirip dengan momong yang dalam bahasa Indonesia berarti mengasuh. Makna among, momong atau mengasuh sesungguhnya sangat multi dimensional. Secara sederhana maknanya diungkapkan dalam istilah
asah, asih, asuh
. Jika dijabarkan kurang lebihnya adalah mengasuh haruslah dengan cara-cara yang mengasihi sehingga objeknya bisa terasah, baik potensi fisik maupun mentalnya. Dengan kata lain, sosok pamong harus memiliki karakteristik aspiratif, akomodatif, dan inspiratif. Dengan demikian, seorang pamong sebenarnya adalah sosok yang highly qualified.
Karakter seperti itu pula yang mestinya dimiliki oleh personil Satuan Polisi Pamong Praja. Artinya betapa tidak mudah menjadi seorang polisi pamong praja. Apalagi sembonyan yang disandang adalah praja wibawa, yang artinya wilayah pemerintahan yang dihormati. Logika sederhana yang dipakai untuk mewujudkan praja wibawa adalah, pemerintah akan berwibawa jika pamongnya, termasuk satpolnya memiliki kewibawaan. Tapi jika menilik keterlibatan satpol pp dalam kasus koja berdarah Rabu, 14 April kemarin, betapa mengenaskannya mereka. Jauh dari karakter seorang pamong. Jika kasus itu terjadi di Banyumas Satpol PP mungkin berubah kepanjangan menjadi Satuan Polisi Peyang Penjol. Peyang dan Penjol adalah tokoh dagelan legendaris dan monumental di Banyumas. Jadi Peyang Penjol adalah simbol kekonyolan.
Oleh karena itu, sebaiknya keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja perlu ditinjau kembali. Kalau masih menggunakan kata pamong, artinya para personilnya haruslah yang benar-benar terdidik dan highly qualified. Tidak sekedar terlatih. Analogi kasarnya, jika jenjang pendidikan anggota polri saja sampai akademi, maka anggota satpol PP harus lebih dari itu. Intinya personil Satpol PP perlu memiliki kemampuan psikologis yang tinggi. Kalau cuma bisa berdalalih “melaksanakan perintah” malah lebih mengenaskan. Karena yang cuma bisa menjalankan perintah hanyalah robot atau mesin, bukan manusia, sehingga tidak layak ditempatkan sebagai sosok pamong.