Padepokan Budi Rahardjo

KOMPAS.com - Sains

Rabu, 22 April 2009

DILEMA PENGAWAS UJIAN NASIONAL

Cerita ini lebih tragis dari tahun lalu. Ketika saya mengawasi di sekolahnya ki hajar dewantoro, anak didiknya begitu ketakutan melihat jam digital portable seharga ceban. Jam itu dikira kamera. Tahun ini temen saya ngawasi di sekolahnya HOS Cokroaminoto, dan.... bener-bener memotret kecurangan yang dilakukan oleh peserta ujian dengan ponselnya. Bagaimana gak takut itu murid?

Saat kami mengawasi, kami berfikir bahwa anak didik kami juga diawasi oleh orang lain. Bila kami menegur mereka atas kecurangan, kami juga berfikir anak kami akan ditegur oleh orang lain. Bila anak yang kami tegur tidak terima, kami pun berfikir anak didik kami tidak terima ditegur oleh orang lain.

Secara aturan main, teman saya itu hanya bertindak tegas dan boleh dibenarkan. Kesalahannya barangkali adalah membawa ponsel ke dalam ruang ujian. Tapi, jika kecurangan dibiarkan, sama saja membiarkan ketidakjujuran berlangsung di ruang ujian. Inilah dilema pengawas ujian nasional. Aturan ditegakkan, muncul permusuhan, bukan hanya antar individu, tetapi juga hingga antar institusi. Jika dibiarkan, sama saja menanamkan sifat meremehkan norma pada anak didik, sehingga kelak akan berkembang menjadi kecurangan yang lebih fatal. Sekecil apapun tindakan manusia, tidak akan pernah luput dari catatan Tuhan, dan itu harus dipertanggungjawabkan.

Ketidak jujuran siswa dalam Ujian Nasional adalah indikasi betapa selama 3 tahun tidak pernah dididik secara tegas untuk berlaku jujur. Saat ujian tiba, kecurangan itu sudah menjadi penyakit akut. Training ESQ, hypnotherapy tak akan cukup untuk untuk memperbaikinya. Guru kencing berdiri, murid lari terkencing-kencing. Murid tak jujur, mungkin juga gurunya memang ahli neraka.

Tidak ada komentar: